LOMENIK.ORG,UNTUK PENGEMBANGAN karier dan peningkatan profesionalisme mediator hubungan industrial yang mempunyai tugas, tanggung jawab, dan wewenang dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi telah menerbitkan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PermenPAN-RB) Nomor 83 Tahun 2020 tentang Jabatan Fungsional Mediator Hubungan Industrial, berlaku sejak tanggal 15 Desember 2020.
Mediator hilang
50 Persen
Direktur Bina Mediator Hubungan Industrial, Direktorat Jenderal
Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Kementerian
Ketenagakerjaan Adriani, SE, MA., dikutip dari kanal YouTube PHIJSK Official yang
tayang tanggal 16 November 2021, menyatakan dampak peraturan ini, mediator
hubungan industrial hilang 50% (lima puluh persen) dari 800-an orang menjadi
400-an orang.
Sebagaimana diketahui selama ini berdasarkan ketentuan Peraturan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 17 Tahun 2014 tentang Pengangkatan
dan Pemberhentian Mediator Hubungan Industrial serta Tata Kerja Mediasi, secara ex
officio (karena jabatannya) kepala dinas di bidang
ketenagakerjaan provinsi atau kabupaten/kota diangkat Menteri Ketenagakerjaan
menjadi mediator khusus. Sedangkan PermenPAN-RB tersebut tidak lagi
memperbolehkan mediator yang menduduki jabatan struktural, seperti Kadisnaker,
Kabid pada Disnaker, Kasie pada Disnaker dan Direktur pada Kemnaker melakukan
fungsi sebagai mediator untuk memediasi perselisihan hubungan industrial.
Jika sekarang (Juli 2022) terdapat 34 provinsi, 416 kabupaten,
dan 98 kota dan setiap provinsi, kabupaten, dan kota mempunyai 1 orang Kepala
Disnaker dan telah diangkat menjadi mediator khusus maka sesungguhnya jumlah
mediator telah hilang sebanyak 548 orang, hanya tersisa 250-an orang. Jika
diasumsikan pada setiap Disnaker diisi 1 orang mediator sedangkan jumlah
Disnaker terdapat 548 maka terdapat 298 Disnaker yang sama sekali tidak
mempunyai mediator. Fakta adanya kekosongan mediator pada beberapa Disnaker
Kabupaten/Kota bahkan Provinsi diakui Adriani dalam seminar yang tayang di
kanal YouTube PHIJSK Official tersebut.
PermenPAN-RB batasi kewenangan
mediator
Permasalahan berikutnya, PermenPAN-RB tersebut membuat batasan
kewenangan mediator sesuai dengan tingkat jabatan/golongannya. Permen tersebut
membuat 4 jenjang jabatan fungsional mediator, yaitu: Mediator Ahli Pertama:
Gol. IIIa & b; Mediator Ahli Muda: Gol. IIIc & d; Mediator Ahli Madya:
Gol. IVa – c; dan Mediator Ahli Utama: Gol. IVd & e.
Mediator Ahli Pertama hanya diberi kewenangan untuk memediasi
perselisihan hubungan industrial tingkat ringan. Lalu Mediator Ahli Muda hanya
diberi kewenangan untuk memediasi perselisihan tingkat sedang. Mediator Ahli
Madya hanya diberi kewenangan untuk memediasi perselisihan tingkat berat.
Sedangkan Mediator Ahli Utama tidak diberi kewenangan untuk melakukan mediasi
perselisihan tingkat apapun. Dan aneh, PermenPAN-RB tersebut tidak mengatur
perselisihan seperti apa yang dimaksud ringan, sedang dan berat. Padahal selama
ini, hukum ketenagakerjaan (UU 13/2003) dan hukum acara peradilan hubungan
industrial (UU 2/2004) tidak mengenal istilah perselisihan tingkat ringan, sedang
dan berat.
Kebijakan dalam PermenPAN-RB seperti itu mempunyai arti bahwa
untuk setiap Disnaker wajib ada 3 mediator, yaitu 1 ahli pertama untuk
memediasi perselisihan tingkat ringan, 1 ahli muda untuk memediasi perselisihan
tingkat sedang, dan 1 ahli madya untuk memediasi perselisihan tingkat berat.
Jika pada setiap Disnaker diisi 3 orang mediator maka butuh penambahan mediator
sebanyak 1394 orang.
Antara ideal dan
utopis
Melihat fakta selama ini, mengisi formasi mediator pada Disnaker
bukanlah sesuatu yang mudah. Dua lembaga kekuasaan disana yang wajib saling
pengertian mengisi dan mempertahankannya, pertama, Pemda
(Gubernur/Bupati/Walikota) menunjuk PNS-nya, dan kedua, Kemnaker
mendidik-melatih dan mengesahkan mejadi mediator. Namun faktanya Kemnaker sudah
melatih, mengesahkan dan membina, akan tetapi Pemda memindahkan PNS tersebut ke
Dinas/Bagian lain, seperti Satpol PP, Pertaman, Pemakaman. Dampaknya Kemnaker
kehilangan mediator, Negara rugi karena APBN sudah dipakai melatih-membina si
mediator. Ini permasalahan utama.
Permasalahan
berikutnya kedepan seiring terbitnya PermenPAN-RB tersebut adalah pembatasan
kewenangan mediator menangani perselisihan tingkat ringan, sedang, dan berat
hanya yang sesuai dengan jenjang jabatan fungsionalnya. Karena misalnya di
Kabupaten Mappi, Papua, dan Kabupaten Aceh Tenggara, masing-masing harus diisi
3 orang mediator, yaitu Mediator Ahli Pertama untuk menangani kasus ringan,
Mediator Ahli Muda untuk menangani kasus sedang, dan Mediator Ahli Madya untuk
menangani kasus berat. Padahal jumlah kasus perburuhan di 2 kabupaten tersebut
mungkin hanya 5-10 dalam setahun. Lalu untuk apa harus 3 orang mediator disana?
Bukankah nanti mereka menjadi makan gaji buta dan stress karena tanpa
pekerjaan? Satu orang mediator di 2 kabupaten tersebut dan kabupaten
non-industri sudah ideal 1-2 orang untuk menangani seluruh jenis perselisihan
tanpa membedakan tingkat ringan, sedang, dan berat.
Ideanya dimasa sekarang ini, klasifikasi perselisihan yang
ditangani mediator (ringan, sedang, dan berat) cukuplah hanya menjadi bahan
penilaian angkat kredit untuk kenaikan pangkat atau jabatan fungsional
mediator, tidak termasuk kewenangan menangani perselisihan. Jika PermenPAN-RB
tersebut tidak diubah maka PermenPAN-RB tersebut hanyalah sebuah cita-cita
kebijakan yang hanya bagus dalam gambaran, tetapi sulit untuk diwujudkan
(utopis).
Buruh akan
semakin menderita
Kebijakan Gubernur, Bupati dan Walikota yang banyak memutasi
mediator ke dinas/bagian lain, dan ditambah lagi kebijakan Menteri PAN-RB dalam
PermenPAN-RB 83/2020 akan membuat banyak buruh di beberapa kabupaten/kota
semakin menderita. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial antara buruh
dengan pengusaha di tingkat mediasi menjadi tidak tertangani sesuai waktu yang
ditetapkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial (UU 2/2004) selama 30 hari kerja (Pasal 15).
Dan lebih
menderita lagi jika pada Disnaker Kabupaten atau Kotamadya tidak ada mediator
maka buruh harus bolak-balik dari tempat tinggalnya di Kabupaten atau Kotamadya
ke ibukota provinsi untuk mencatatkan (mendaftarkan) dan menghadiri persidangan
mediasi atas perselisihan hubungan industrial yang dialaminya, seperti perselisihan
pemutusan hubungan kerja (PHK). Misalnya dari Kabupaten Mappi (Merauke) harus
bolak-balik ke Disnaker Prov. Papua di Jayapura. Atau dari Aceh Tenggara
bolak-balik ke Disnaker Prov. Aceh di Banda Aceh. Karena misalnya pada Disnaker
Provinsi Aceh tidak ada mediator maka buruh harus bolak-balik ke Kementerian
Ketenegarakerjaan di Jakarta untuk mencatatakan perselisihannya dan mengikuti
proses persidangan mediasi.
Mungkinkah buruh melakukan hal itu? Tidak. Mengapa? Biaya besar.
Bahkan mungkin lebih besar daripada jumlah hak yang dituntut. Hak (pesangon)
yang dituntut misalnya hanya sebesar Rp10.000.000, sedangkan biaya transportasi
Mampi – Jayapura untuk minimal 3 kali bolak-balik naik pesawat melebihi
Rp10.000.000. Apa yang terjadi? Satu juta pun diberikan pengusaha dalam
perundingan bipartit pastilah diterima buruh. Politik perburuhan seperti ini
harus segera diakhiri dengan cara segera memperbaiki UU 2/2004. (*)
*Penulis
adalah Ketua LBH KSBSI;
*Sumber
Publish: KSBSI.org
0 Komentar